KPK akhirnya menyatakan sikap resmi atas RUU KUHP dan KUHAP. Rabu (19/2) sore ini, dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Zulkarnain menggelar konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta. Dalam pernyataannya, Abraham meminta pemerintah menarik draf dan DPR agar menangguhkan pembahasan. “Posisi KPK tidak sedang menolak dengan serta-merta,” tegas Abraham.
Alasannya, KPK melihat ada sejumlah hal yang krusial, dan kalau pembahasan ini membuahkan pengesahan, maka akan menghambat pemberantasan korupsi yang tengah giat-giatnya. Sejumlah itu antara lain, dimasukkannya kejahatan korupsi ke dalam draf ini. Dampaknya, “Sifat kejahatan korupsi yang luar biasa, menjadi tereliminir. Ini juga berlaku untuk kejahatan luar biasa lainnya, seperti narkotika, terorisme dan kejahatan HAM,” kata Abraham.
Konsekuensi ini juga berdampak bagi institusi lain, jika kedua RUU ini disahkan maka eksistensi dan kewenangan beberapa lembaga antara lain KPK, Pengadilan Tipikor, Kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan korupsi , PPATK dan BNN menjadi hilang dengan alasan adanya ketentuan peralihan dalam pasal 757, 761 dan 763. RUU KUHP.
Kedua, beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP dipandang akan menyulitkan upaya penegak hukum dan menegasikan kewenangan penuntutan KPK, antara lain dihapusnya kewenangan penyelidikan, penyadapan, penyitaan, upaya banding dan kasasi. “Misalnya kalau penyelidikan dihilangkan, maka akan mempersulit dalam upaya hukum.”
Aturan penyuapan dan gratifikasi, kata dia, juga tidak termasuk lagi ke dalam delik korupsi bila merujuk pada draf yang baru. Kalau ada penyelenggara negara menerima suap, kata dia, maka itu tidak akan bisa disidik oleh KPK.
Waktu penyidikan juga semakin singkat. Dalam penanganan kejahatan kerah putih dengan modus kian canggih, tentu akan menyulitkan KPK dalam melakukan pemberkasan kasus. “Kalau tetap dipaksakan, akan menghambat pemberantasan korupsi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Zulkarnain memandang bahwa RUU KUHAP ini merupakan hukum publik yang sangat vital karena menyangkut hak azasi seseorang. Karena itulah, kata dia, pembahasan RUU ini harus dilakukan secara mendalam dan tidak tergesa-gesa serta melibatkan para pakar hukum pidana, tokoh masyarakat, pemerhati dan semua elemen yang berkepentingan. “Sebab ini akan dilaksanakan dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
Dulu, KUHP yang digunakan Indonesia merupakan buatan Belanda dan dibuat dalam kurun waktu 10 tahun. “Tentu kita harapkan lebih baik, bukan sekadar ada.“ Zulkarnain juga mengkritisi logika hukum dimasukannya korupsi menjadi pidana umum. Seharusnya, hukuman diperberat, cakupan diperluas dan pembuktian diperkuat. “Kalau dikembalikan ke pidana umum, berarti kita mundur dari sisi perundang-undangannya,” kata Zul.
Padahal faktanya, kata Zul, korupsi yang ditangani KPK, modusnya makin canggih, pelakunya kian nekat serta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang masih jeblok. “Apa mungkin ditangani secara biasa?” sindir Zul.
Karena itu, KPK telah menyurati presiden dan DPR pada Rabu (19/2) ini. Isinya, KPK merekomendasikan empat hal. Pertama, agar Pemerintah dan DPR menunda pembahasan kedua RUU tersebut. Kedua, agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan UU tersendiri sebagaimana yang berlaku saat ini. Ketiga, RUU KUHAP sebagai Hukum Pidana Formil sebaiknya dibahas setelah dilakukan pembahasan atas RUU KUHP sebagai Hukum Pidana Materiil. Terakhir, pemberlakuan kedua RUU tersebut diberikan masa transisi minimal tiga tahun sebagai masa transisi untuk menyesuaikan RUU Tipikor dan UU lainnya yang terkait.
(Humas KPK)
0 komentar:
Posting Komentar